Melayu deli


Kerjaan melayu di sumatra utara
Oleh ; persatuan melayu serumpun (facebook)

Di Sumatera Khusus nya sumatera Utara Terdapat Tiga Kerajaan Melayu Besar,,salah satunya Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang dan Kerajaan Asahan
Kerajaan DELI Di MEDAN Tahukah Anda, tradisi pergantian Raja Deli masih terus dilaksanakan di Istana Maimoon Medan. Saat ini yang menduduki tahta adalah Raja Deli XII bernama Sultan Azmi Perkasa Alam. Upacara pergantian raja ini memang kurang mendapat perhatian warga, namun tetap lestari sejak abad 16 silam.
Tak bisa dibantah, sejarah kota Medan tak terpisahkan dari kehadiran Kerajaan Melayu Deli. Sebanyak 12 orang raja telah memimpin kerajaan ini sejak berdirinya pada abad 16. Ketika itu, Kerajaan Aru di daerah Sungai Lalang -- Deli Tua sekarang -- ditaklukkan pasukan Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Panglima Hisyamuddin. Nama terakhir ini adalah seorang turunan dari negeri Shindi Hindustan.
Selanjutnya ia diangkat oleh Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh sebagai wakil kerajaan untuk daerah Sumatera Timur dengan gelar Panglima Gocah Pahlawan. Pada tahun 1632 Kerajaan Aceh selanjutnya menetapkan berdirinya Kerajaan Deli. Panglima Gocah Pahlawan diangkat menjadi Raja Deli I dengan gelar ‘’Tuanku Panglima Gocah Pahlawan”, pada saat itu Kerajaan Deli berkedudukan di Sungai Lalang. Ia berkuasa selama 37 tahun, dan pada tahun 1669 beliau mangkat. Tampuk pimpinan kerajaan selanjutnya dipegang Tuanku Panglima Parunggit. Raja Deli II mulai memerintah pada tahun 1669. Kemudian ia memindahkan pusat kerajaan ke daerah Padang Datar (Medan sekarang). Ia memerintah di kerajaan ini selama 29 tahun. Pada tahun 1698 ia mangkat dan diberi gelar “Marhum Kesawan”. Selanjutnya pimpinan kerajaan diserahkan pada Tuanku Panglima Padrap yang diangkat menjadi Raja Deli III. Ia pun sempat memindahkan pusat kerajaan ke daerah Pulo Brayan sekarang. Beliau berkuasa hingga tahun1728.

Tuanku Panglima Pasutan menjadi Raja Deli IV dan mulai memerintah dari tahun 1728. Tak beda dengan pendahulunya, ia pun memindahkan lagi Kerajaan Melayu ke Labuhan Deli serta memberi gelar “Datuk” kepada kepala-kepala suku yang merupakan penduduk asli Kerajaan Deli. Para kepala suku itu terkenal dengan sebutan Datuk 4 Suku.

Keempat suku (daerah) yang memperoleh gelar tersebut masing-masing daerah Sepuluh Dua Kuta (daerah Hamparan Perak dan sekitarnya), Serbanyaman (daerah Sunggal dan sekitarnya), Sinembah (daerah Patumbak, Tanjung Morawa dan sekitarnya) serta Sukapiring (daerah Kampung Baru dan Medan sekitarnya). Tuanku Panglima Pasutan berkuasa sampai tahun 1761. Pada tahun itu juga, Raja Deli berganti lagi. Di bawah kekuasaan Tuanku Panglima Gandar Wahid selaku Raja Deli V, kedudukan Datuk Empat Suku semakin kokoh. Gandar Wahid mangkat tahun 1805. Tampuk kekuasaan selanjutnya diwariskan pada putra ketiga Panglima Gandar Wahid, yaitu Sultan Amaludin Mengedar Alam. Ia tercatat sebagai Raja Melayu VI. Pada masa pemerintahannya, hubungan Kerajaan Melayu sudah lebih dekat dengan Kerajaan Siak ketimbang Kerajaan Aceh. Ia sendiri memerintah sampai tahun 1850.


Selanjutnya Sultan Osman Perkasa Alamsyah naik tahta. Raja yang satu ini hanya berkuasa selama delapan tahun. Namun meskipun singkat, di bawah kekuasaannya Kerajaan Deli bisa kembali dekat dengan Kerajaan Aceh. Hal ini ditandai dengan pemberian Pedang Bawar dan Cap Sembilan. Pada tahun 1858, Raja Deli VIII dipegang Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Sultan ini memerintah hingga tahun 1873, dan kerjasama dengan Belanda mulai dijalinnya. Hal ini ditandai dengan pembukaan lahan tembakau di daerah Kerajaan Deli. Kedekatan kerajaan dengan Belanda makin erat setelah naiknya Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Boleh dibilang, ini adalah era keemasan Kerajaan Melayu Deli. Di bawah kekuasaannya perdagangan tembakau semakin makmur dan mencapai puncaknya. Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan kembali ke Medan dan mendirikan Istana Maimoon pada tanggal 26 Agustus 1888 dan diresmikan pada 18 Mei 1891. Ia juga mendirikan bangunan lain seperti Mesjid Raya Al Mahsun pada tahun 1907, serta beberapa bangunan bersejarah lainnya. Ma’mun memimpin kerajaan sampai tahun 1924. Pemerintahan selanjutnya diteruskan Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah dari tahun 1924 hingga 1945. Pada masa pemerintahannya, hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di nusantara terjalin dengan baik. Ini terbukti dengan adanya pengembangan pelabuhan laut. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, dan Pemerintah Kesultanan Deli mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Kedudukan sultan-sultan selanjutnya diubah menjadi Penguasa Adat Istiadat dan Kebudayaan Melayu Deli.

Pada tahun 1945, Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam menyerahkan kedudukannya kepada putra tertuanya, Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam yang memerintah hingga tahun 1965. Sejak Tahun 1965, Kerajaan Deli dipimpin oleh Penguasa Tertinggi Adat Melayu yang juga merupakan putra Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam, yaitu Sultan Azmi Perkasa Alam. Sultan terakhir ini masih berkuasa sampai sekarang. Tradisi pergantian raja di Istana Maimoon masih dilakukan dengan khidmat, meski pemerintahan modern telah lama dikenal di negeri ini. Ibarat pepatah Melayu, “Takkan hilang Melayu ditelan bumi”. Pada masa mendatang, Sultan Melayu akan tetap ada walau kekuasaannya
tak lagi sehebat dulu




kerajaan serdang di lubuk pakam
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit. Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatra Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
---------------------------------------------------------------------


kerajaan asahan di tanjung balai
RINGKASAN SEJARAH KESULTANAN ASAHAN DARI ABAD XVI

Asahan adalah sebuah daerah (kabupaten) dalam wilayah (Provinsi) Sumatera Utara. Pusat pentadbiran Kabupaten Asahan adalah Tanjung Balai yang berjarak ± 130 KM dari Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara. Sampai tahun 1946, Asahan merupakan salah satu Kesultanan Melayu yang struktur kerajaannya tidak jauh berbeda dari struktur negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka pada masa itu. Namun pada tahun 1946, sistem kerajaan di Asahan telah digulingkan oleh sebuah pergerakan anti kaum bangsawan dalam sebuah revolusi berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Sosial. Kesultanan-kesultanan yang ada di Sumatera Timur seperti Deli, Langkat, Serdang, Kualuh, Bilah, Panai dan Kota Pinang juga mengalami nasip serupa.
Sejarah Awal Mengikut tradisi setempat, Kesultanan Asahan bermula kira-kira pada abad XVI, yaitu ada saat Sultan Abdul Jalil ditabalkan sebagai Sultan Asahan yang pertama dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Ayahnya ialah Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayat Syah “Al Qahhar”), Sultan Aceh ke XIII yang memerintah sejak tahun 1537 – 1568, sementara ibunya adalah Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu”. (Pinang Awan terletak di Kabupaten Labuhan Batu). Sebelumnya, Aceh telah menaklukkan negeri-neeri kecil di pesisir Sumatera Utara dan di dalam salah satu pertempuran inilah Raja Pinang Awan terbunuh dan anaknya Siti Ungu dibawa ke Aceh dan menikah dengan Sultan Alaiddin. Sultan-sultan Asahan berikutnya adalah Sultan Saidisyah, Sultan Muhammad Rumsyah, Sultan Abdul Jalil Syah II (mangkat 1765), Sultan Dewa Syah (1756 – 1805) dan Sultan Musa Syah (1805 – 1808) masing-masing memindahkan pusat pemerintahan negeri Asahan dari satu tempat ke tempat lain.

Setelah kemangkatan Sultan Asahan VII, Sultan Muhammad Ali Syah (1808 – 1813), terjadi perebutan kuasa di antara anaknya, Raja Hussein dengan pihak anak saudaranya, Raja Muhammad Ishak. Sebagai penyelesaian , Raja Muhammad Ishak diangkat menjadi Yang Dipertuan Negeri Kualuh yang sebelum ini adalah sebagian dari wilayah Asahan. Raja Hussein sendiri diangkat menjadi Sultan Asahan dengan gelar Sultan Muhammad Hussein Syah. Perluasan Kekuasan Belanda Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Hussein Syah (1813 – 1854) dan anaknya, Sultan Ahmad Syah, Asahan merupakan kerajaan yang disegani di daerah antara Serdang dan Siak dan mempunyai pengaruh besar di Batu Bara, Bilah dan Panai. Di masa inilah terjadi pertembungan antara Belanda, Inggris dan Aceh di Asahan karena Belanda dan Inggris masing-masing bersaing untuk meluaskan kekuasaan penjajahan dan perdagangan mereka di pesisir timur Sumtera sementara Aceh pun berkeras mempertahankan kedaulatannya di Asahan.

Tuntutan Belanda terhadap negeri-negeri di Pesisir Timur termasuk Asahan adalah berdasarkan Perjanjian Siak yang ditandatangani oleh Belanda dengan Kesultanan Siak pada 1 Februari 1858. Berdasarkan perjanjian itu, Siak diserahkan kepada Belanda termasuk daerah taklukannya seperti Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, Langkat dan Tamiang. Berdasar sejarah, hak Siak atas kerajaan-kerajaan ini adalah berdasarkan penyerangannya pada tahun 1791. Tetapi kenyataannya adalah kekuasaan Siak hanya sebatas nama saja dan tidak diakui oleh banyak pihak. Di masa yang sama, negeri-negeri ini mempunyai hubungan perdagangan yang erat dengan Pelabuhan Inggris di Pulau Pinang di mana nilai ekspor lada, rotan dan barang lain dari Sumatera bernilai 150.000 Poundsterling pertahun. Pada saat Elisa Netscher dilantik sebagai Residen Belanda di Riau pada tahun 1861, Beliau menghantar seorang pembesar Minangkabau, Raja Burhanuddin, ke negeri-negeri ini untuk menilai keadaan. Beliau melaporkan kepada Netscher bahwa tidak ada kerajaan yang mau mengakui kedaulatan Siak. Deli, Serdang dan Langkat masih di bawah pengaruh Aceh tetapi bersedia menerima perlindungan Belanda. Hanya Asahan dan negeri di bawah pengaruhnya: Batu Bara, Panai dan Bilah, yang tidak mau berhubungan dengan Siak dan Belanda.

Pada Agustus 1862, Netscher dan Pembantu Residen Belanda di Siak, Arnold, diiringi oleh pembesar-pembesar Siak mengunjungi negeri-negeri yang terlibat. Walaupun mengalami beberapa kesulitan, Netscher berhasil menundukkan Panai, Bilah, Kota Pinang, Serdang, Deli dan Langkat di bawah kekuasaan Belanda. Hanya Asahan saja yang tidak bersedia tunduk, bahkan di pantai Asahan dikibarkan bendera Inggris.

Tindakan Belanda ini mendapat tantangan yang keras dari pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang karena ia menggugat hubungan perdagangan di antara Pulau Pinang dengan negeri-negeri tersebut. Sebelumnya Sultan Asahan dan Raja Muda Asahan telah memberitahu Gubernur negeri-negeri Selat, yaitu Kolonel Cavenagh, perihal niat Belanda. Major Man, Resident Councillor di Pulau Pinang, kemudian dikirim ke Deli, Serdang dan Langkat untuk mengawasi keadaan

Sultan Ibrahim, Aceh, turut menentang tindakan Belanda ini. Dari kacamata Aceh, seluruh pesisir timur Sumatera sampai ke Panai dan Bilah adalah daerah takluknya. Justru itu, angkatan perang Aceh dikirim ke Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara dan Asahan. Di Asahan dan Serdang angkatan perang Aceh disambut dengan baik. Sebagai balasan, pada tahun 1865, Belanda mengiri angkatan perangnya untuk menyerang Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan, Sultan Ahmadsyah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.

Netscher kemudian mengangkat Tengku Naamal Allah, Yang Dipertuan Negeri Kualuh, menjadi pemangku Sultan Asahan dan melantik seorang Contoleur Belanda sebagai penasehat. Sultan Ahmadsyah kemudian menyerah namun kaum Batak di pedalaman meneruskan perjuangan menentang Belanda. Pada tahun itu juga, Sultan Ahmadsyah diasingkan Belanda ke Riau bersama adiknya, Tengku Muhammad Adil. Tengku Pengeran Besar Muda di asingkan ke Ambon. Pada tahun 1868, Tengku Naamal Allah dilantik menjadi Pemangku Sultan karena kaum Batak tidak mau menokong pemerintahannya dan menuntut kepulangan Sultan Ahmad Syah.

Pak Netak, Raja Bandar Pulau di Hulu Asahan, mati semasa menentang Belanda pada tahun 1870. Perjuangan secara gerilya diteruskan, terutama pada tahun 1879 dan 1883. Dari tahun 1868 sampai dengan 1886 Asahan diletakkan Netscher di bawah pentadbiran empat orang pembesar Melayu. Akhirnya, pada tahun 1885, Belanda mengizinkan Sultan Ahmadsyah pulang ke Asahan dengan syarat Beliau tidak boleh campur tangan mengenai politik. Beliau menandatangani perjanjian politik dengan Belanda (Akte Van Verband) pada 25 Maret 1886 di Bengkalis dan kembali memerintah Asahan pada 25 Maret 1886 sampai kemangkatannya pada 27 Juni 1888.

Di pihak Inggris, tantangan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di Pesisir Timur semakin lama semakin berkurang karena munculnya kekuatan-kekuatan besar yang baru seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman an Itali yang masing-masing tertarik pula dengan Asia Tenggara. Inggris memandang lebih baik bekerjasama dengan Belanda. Lagipula Belanda tengah melonggarkan dasar perdagangannya di Sumatera dan ini mendatangkan keuntungan kepada pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang dan Singapura. Pada 2 Nopember 1871, Inggris menandatangani Perjanjian Sumatera dengan Belanda di mana antara lain Inggris membatalkan semua perlawanan terhadap Belanda di mana-mana daerah di Sumatera dan rakyat Inggris mempunyai hak berdagang yang sama dengan rakyat Belanda di Sumatera.

Dari Pemerintahan Sultan Muhammad Hussein Rahmat Syah II Hingga Pendudukan Jepang 1942 – 1945

Pada 6 Oktober 1888, Tengku Ngah Tanjung ditabalkan menjadi Sultan Asahan X dengan gelar Sultan Muhammad Hussein Rahmat Syah II. Pelantikan ini dibuat berdasarkan wasiat saudara ayahnya, Sultan Ahmad Syah yang mangkat tanpa meninggalkan keturunan. Residen Belanda, G. Scherer juga memberi persetujuan terhadap pelantikan ini. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Hussein II, langkah-langkah diambil untuk memajukan Asahan seperti menggalakkan Syarikat Eropa membuka perusahaan di Asahan untuk memberi peluang pekerjaan bagi penduduknya. Pada tahun 1908, Beliau bersama dengan adik-adiknya, Tengku Alang Yahya dan Tengku Musa, berkunjung ke Belanda untuk menerima gelar “Ridder der Orde van den Nederlanschen Leeuw” dari Ratu Wilhelmina.

Pada masa pemerintahannya, Sultan Muhammad Hussein II melantik Tengku Alang Yahya sebagai Bendahara dan mengangkat anak sulungnya, Tengku Amir, sebagai Tengku Besar Asahan atau calon Sultan. Tetapi Tengku Amir mangkat tahun 1913 dan diangkatlah Tengku Saibun sebagai gantinya pada 7 Juli 1915.

Sultan Muhammad Hussein II mangkat pada usia 53 tahun, oleh karena Tengku Saibun masih kanak-kanak, Tengku Alang Yahya (Bendahara) dilantik menjadi pemangku sultan dengan gelar Tengku Regent Negeri Asahan. Semasa ia menjadi Tengku Regent ini, Beliau menerima dua anugerah, yaitu “Officier der Orde van Oranje Nassau” dan “Ridder der Orde van den Nederlanschen Leeuw”.

Pada 15 Juni 1933, Tengku Saibun ditabalkan menjadi Sultan Asahan XI dengan gelar Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmat Syah di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai. Isteri Beliau, Tengku Nurul Asikin binti Tengku Al Haji Rahmad Bedagai, ditabalkan sebagai Tengku Suri (Tengku Permaisuri) Negeri Asahan, pada 17 Juni 1933.

Pendudukan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno meproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia.

Pemimpin-pemimpin pergerakan di Indonesia, mendaulat Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin tertinggi mereka, tetapi pada umumnya perkembangan revolusi di kebanyakan daerah di Sumatera Utara terlepas dari pergerakan di Jawa. Revolusi di Sumatera bermula pada Oktober 1945 pada saat tentara sekutu tiba di Sumatera untuk melucuti tentara Jepang.

Aktivis-aktivis pergerakan pada mulanya berperang dengan tentara Jepang yang sedang mundur untuk merebut senjata dan dengan tentara Inggris yang menduduki sebagian Kota Medan, Padang dan Palembang dan akhirnya dengan Belanda yang mengambil alih dari Tentara Inggris pada akhir tahun 1945
Revolusi Sosial 1946 dan berakhirnya Kesultanan Asahan
Di dalam kemelut ini, keganasan dialihkan pula kepada golongan tradisional (Tengku dan Raja) yang selama ini dianggap oleh golongan petani sebagai pro Belanda dan pro kolonial. Kebencian rakyat semakin meluap karena kebanyakan raja-raja itu tidak memberikan sokongan kepada pergerakan pro Republik (kecuali Sultan Siak), ditambah lagi tersebar pula kabar bahwa raja-raja itu telah menghubungi Belanda dengan harapan dapat memulihkan kembali kedudukan mereka.

Pergerakan anti kaum bangsawan kian merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu, beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua diantaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia, menggunakan pergerakan anti kaum bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat landasan kekuatan politik mereka. Untuk mencapai tujuan ini, mereka membangkitkan sentimen rakyat sampai akhirnya tercetuslah Revolusi Sosial di mana Raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan kejam dan hartanya dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga membunuh kalangan profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang hidup mengkuti gaya hidup barat. Oleh karena itu, beberapa orang pro nasionalis dan keluarganya juga turut dibunuh.

Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. Namun di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.

Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhan Batu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhan Batu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan sehingga tidak dapat dilindungi oleh pasukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) da Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).

Di Asahan, sebagian besar keluarga Raja dibunuh, namun Sultan Saibun selamat dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Republik Indonesia di Pematang Siantar. Beliau mangkat di Medan pada 6 April 1980. (baca lebih sedikit)