tarekat syattariah melayu

Tarekat syattariah di dunia melayu-indonesia : kajian atas dinamika dan perkembangannya melalui naskah-naskah di sumat

Naskah ini disunting dari : http://www.melayuonline.com/article/?a=bWtOL2toYTBFSlc%3D=)

oleh :Oman Fathurahman, M.Hum

Penelitian ini merupakan telaah mendalam atas naskah-naskah yang berkaitan dengan tarekat Syattariyyah, dengan fokus utama pada naskah-naskah Syattariyyah yang muncul dan berkembang di Sumatra Barat.

Dalam konteks Sumatra Barat ini, tarekat Syattariyyah, selain merupakan jenis tarekat paling awal datang, juga —dan ini yang paling penting—berkembang secara sistematis melalui surau-surau. Perkembangan tarekat Syattariyyah, dan juga tarekat lainnya, melalui surau ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang khas di Sumatra Barat, karena, meskipun di wilayah lain, seperti Jawa, misalnya, tarekat juga sebagian berkembang melalui pesantren, tapi dapat dipastikan bahwa lebih banyak pesantren yang tidak mengembangkan tarekat dibanding yang mengembangkannya. Hal yang sebaliknya terjadi di Sumatra Barat, yakni bahwa hampir semua surau keagamaan menjadi basis pengembangan tarekat, dalam konteks penelitian ini, tarekat Syattariyyah, kendati penting dicatat bahwa, di pesantren-pesantren di Jawa yang tidak mengembangkan tradisi tarekat ini, ajaran-ajaran tasawuf, khususnya tasawuf amalinya Imam al-Ghazzaly, tetap menjadi salah satu pelajaran penting.

Untuk melihat dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, penelitian atas naskah-naskahnya menjadi sangat penting mengingat tradisi penulisan naskah-naskah Syattariyyah dalam bahasa Melayu Kitab di Sumatra Barat tersebut masih terus berlangsung, seiring dengan masih banyaknya pengikut tarekat ini yang menamakan dirinya kaum Syattari.

Dalam hal ini, sekali lagi penting disebut peran sentral surau yang, dalam konteks Sumatra Barat, telah menjadi salah satu komponen penting dalam pembentukan budaya masyarakatnya. Hal ini terjadi, karena melalui keberadaan dan peran surau lah, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan yang telah berumur ratusan tahun tersebut tetap berlangsung, dan menjadi bagian dari identitas kaum Syattari tersebut. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika sejauh menyangkut tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan ini, peran surau menjadi sangat penting. Dalam hal ini, surau di Sumatra Barat dapat dianggap sebagai semacam “skriptorium” naskah, yakni tempat di mana aktivitas penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan berlangsung.

Selain karena khazanah naskahnya yang cukup kaya, penelitian atas tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat juga penting untuk melihat dinamika yang terjadi ketika tarekat ini bersentuhan dengan tradisi dan budaya lokal.

Metodologi dan Langkah-langkah Penelitian

Secara keseluruhan, penelitian ini merupakan kajian kepustakaan, yang dalam pembahasannya menggunakan dua pendekatan: pendekatan filologis, dan pendekatan sejarah sosial intelektual.

Berkaitan dengan metodologi penelitian ini, penting dikemukakan bahwa, tidak seperti penelitian filologis pada umumnya, dalam penelitian ini tidak dilakukan suntingan atas satu teks tertentu, kendati tetap juga menghadirkan salah satu teks yang dianggap paling mewakili kelompoknya. Hal ini dilakukan karena beberapa pertimbangan:

Pertama, suntingan atas beberapa teks Syattariyyah yang menjadi sumber utama penelitian ini telah dilakukan dalam bentuk penelitian lain, baik yang dilakukan oleh penulis sendiri maupun oleh peneliti lain;

Kedua, tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk melihat dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyyah melalui naskah-naskahnya. Dan, untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini meniscayakan dilibatkannya sebanyak mungkin naskah yang berhubungan dengan tarekat Syattariyyah. Hal ini jelas tidak memungkinkan dilakukannya suntingan teks yang mengandaikan adanya satu teks saja dengan beberapa varian naskahnya;

Ketiga, substansi dari sebuah penelitian filologis sendiri sesungguhnya tidak hanya sekedar kritik teks, yang mencakup perbandingan berbagai bacaan dari naskah-naskah yang berbeda-beda, dan membuat silsilah naskah (stemma). Lebih dari itu, sebuah penelitian filologis idealnya juga sampai pada upaya mengetahui makna dari teks-teks yang dikajinya. Karena alasan inilah maka penelitian atas naskah-naskah Syattariyyah ini lebih fokus pada upaya untuk menempatkan pembahasan atas naskah-naskah tersebut dalam konteksnya, dan mengasumsikan keseluruhan naskah tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak berdiri sendiri, dan tidak terpisah satu sama lain, baik dalam hal waktu, tempat maupun lainnya.

Adapun pendekatan kedua, yakni sejarah sosial-intelektual, dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian atau analisis terhadap faktor-faktor sosial intelektual yang mempengaruhi terjadinya peristiwa sejarah itu sendiri. Dalam hal ini, tarekat Syattariyyah dengan berbagai doktrin dan ajaran dalam naskah-naskahnya ditempatkan sebagai faktor sosial intelektual yang turut menentukan sebuah perjalanan sejarah.

Pendekatan sejarah sosial-intelektual ini digunakan untuk menjadi semacam alat bantu untuk mengetahui makna terdalam dari teks-teks Syattariyyah yang dikaji, sehingga teks-teks tersebut dapat dipahami dalam konteksnya yang tepat. Dalam penelitian ini sendiri, yang dimaksud dengan sejarah sosial intelektual adalah rekonstruksi ajaran tarekat Syattariyyah yang terdapat dalam naskah-naskahnya, serta telaah atas dinamika dan perkembangannya di tengah-tengah gerakan keagamaan Islam di Sumatra Barat pada umumnya.

Seperti telah diisyaratkan, yang ingin dilihat melalui penelitian atas naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat ini adalah sejauh mana naskah-naskah tersebut menggambarkan dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyyah di wilayah ini, mulai dari sifat ajarannya, silsilah guru-muridnya, konteks sosial historis yang melingkupinya, dan juga ekspresinya yang bersifat lokal. Oleh karenanya, naskah yang dilibatkan sebagai sumber utama dalam penelitian ini dihimpun sebanyak mungkin.

Dalam hal ini, ada 10 judul naskah di Sumatra Barat yang berkaitan dengan tarekat Syattariyyah, baik menyangkut aspek ajarannya maupun aspek kesejarahannya. Satu di antaranya berbahasa Arab, yakni salinan teks Tanbih al-Masyi karangan Abdurrauf al-Sinkili, sedangkan 9 naskah lainnya berbahasa Melayu/Minangkabau yang ditulis oleh tiga orang ulama Syattariyyah di Sumatra Barat, yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram, dan Tuanku Bagindo Abbas Ulakan. Naskah-naskah tersebut adalah: Pengajian Tarekat; Kitab al-Taqwim wa al-Aiyam; Risalah Mizan al-Qalb; Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu dari Syaikh Burhanuddin Sampai ke Zaman Kita Sekarang; Muballigul Islam; Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Abdurrauf (Syaikh Kuala); Pengembang Agama Islam di Aceh; Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau; Sejarah Ringkas Syaikh Muhammad Nasir (Syaikh Surau Baru), dan naskah Sejarah Ringkas Syaikh Paseban al-Syattari.

Kemudian, karena untuk mengetahui sejauh mana dinamika yang terjadi pada tarekat Syattāriyyah di Sumatra Barat tersebut diperlukan sumber-sumber lain yang lahir sebelumnya dan diyakini menjadi acuan naskah-naskah Syattāriyyah Sumatra Barat tersebut, maka pembahasan atas kelompok naskah Sumatra Barat tersebut dilakukan melalui kajian interteks dengan naskah-naskah Syattāriyyah yang lahir sebelumnya, dalam hal ini naskah-naskah Arab dan Melayu yang muncul di Aceh pada kurun abad ke-17. Naskah Arab yang dimaksud adalah Tanbīh al-Māsyī karangan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili, sedangkan naskah Melayunya adalah naskah Syattāriyyah, juga karangan al-Sinkili.

Bahkan, untuk melacak akar-akar pemikiran dan ajaran yang terdapat dalam naskah-naskah Syattāriyyah tersebut ke sumber yang lebih awal lagi, dalam penelitian ini juga disertakan pembahasan atas dua sumber Arab yang dianggap paling otoritatif berkaitan dengan tarekat Syattāriyyah. Sumber Arab yang dimaksud adalah kitab-kitab karangan dua guru utama al-Sinkili, yakni al-Simt al-Majīd karangan Syaikh Ahmad al-Qusyāsyī (w. 1660), dan Ithāf al-Zakī karangan Ibrāhīm al-Kūrānī (1614-1690).

Hasil-hasil Penelitian

Dari keseluruhan pembahasan disertasi ini, penulis menyimpulkan bahwa sejauh menyangkut penelitian atas wacana keagamaan (baca: Islam) lokal di Indonesia, naskah —yang sayangnya masih sering terabaikan— sesungguhnya merupakan salah satu sumber penting paling otentik yang dapat digunakan. Melalui penelitian atas naskah-naskah keagamaan lokal tersebut, gambaran tentang dinamika dan perkembangan Islam di suatu wilayah, dengan berbagai kekhasannya, dapat secara mendalam dikemukakan.

Sejumlah kajian atas naskah-naskah keagamaan yang telah dilakukan oleh sejumlah sarjana menunjukkan betapa besar sumbangsih naskah-naskah tersebut bagi dunia keilmuan, sehingga —selain memperkaya literatur keagamaan— hasil kajiannya pun seringkali menjadi rujukan utama para peneliti.

Penting ditegaskan bahwa kekayaan khazanah naskah Nusantara, termasuk di dalamnya naskah-naskah keagamaan, dan aktivitas kajian atas naskah-naskah tersebut, telah memungkinkan berkembangnya disiplin ilmu filologi, yang memang merupakan semacam “kunci masuk” ke dalam dunia pernaskahan, meski harus dicatat bahwa dalam perkembangannya hingga kini, para peminat dan peneliti naskah masih lebih sering memilih untuk memposisikan dirinya sebagai “penyedia” teks yang siap baca, dengan melakukan suntingan, transkripsi, terjemahan, dan analisis intrinsik atas naskah yang dikajinya; dan kemudian mempersilahkan para peneliti lain, khususnya sejarahwan, untuk melakukan pembacaan atas konteks sosial historisnya.

Menghadirkan teks yang siap baca memang merupakan salah satu tugas utama seorang filolog, karena teks-teks yang terdapat dalam naskah seringkali sulit diakses oleh pembaca kebanyakan, baik karena huruf atau bahasanya yang tidak banyak dikenal, atau karena terlalu banyak variannya sehingga perlu dilakukan pembuktian (verifikasi) terlebih dahulu. Oleh karenanya, tugas filolog untuk menyediakan teks yang siap baca tersebut sudah selayaknya tetap dilakukan.

Akan tetapi, yang penting digarisbawahi adalah bahwa aktifitas seorang filolog sesungguhnya bisa tidak berhenti pada tugas sebagai penyedia teks yang siap baca saja; karena sejauh pengamatan penulis, hal ini lah, antara lain, yang menyebabkan munculnya kesan bahwa bidang kajian pernaskahan ini “kering” dan membosankan, sehingga kurang banyak diminati. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa menggabungkan dua aktivitas, yakni menghadirkan teks yang siap baca, dan melakukan sendiri pembacaan atas konteks sosial historisnya —meski tidak selalu mudah dilakukan— dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi para peneliti untuk mau terjun ke dalam kajian pernaskahan.

Dari segi metodologi, disertasi ini sendiri sesungguhnya dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk melakukan terobosan di atas, khususnya agar pendekatan dalam kajian naskah tidak mengalami kemandekan.

Melalui gabungan dua pendekatan, yakni filologis dan historis, di atas, penulis sampai pada beberapa kesimpulan, baik menyangkut saling silang hubungan antarnaskahnya, maupun menyangkut substansi konsep dan ajaran tarekat Syattariyyah yang merupakan kandungan isinya.

Sejauh menyangkut pernaskahannya, penulis menyimpulkan bahwa naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat —yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah satu sama lainnya— tersebut, selain ditujukan untuk memberikan pengajaran kepada para anggota tarekat, juga ditulis oleh pengarangnya masing-masing dalam, atau untuk menjelaskan, konteks tertentu, khususnya berkaitan dengan adanya penolakan terhadap gerakan pembaharuan keagamaan Islam yang akhirnya melahirkan perdebatan antara Kaum Tua (tradisionalis) dan Kaum Muda (modernis).

Selain itu, melalui analisis intertekstual dengan naskah-naskah Syattariyyah yang muncul sebelumnya, diketahui bahwa naskah-naskah Syaattariyyah di Sumatra Barat ini jelas terhubungkan terutama melalui hubungan intelektual di antara para penulisnya, mulai dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-K´rani, Syaikh Abdurrauf al-Sinkili, sampai kepada para penulis di Sumatra Barat yang terhubungkan melalui salah satu murid utama al-Sinkili, yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan.

Adapun menyangkut ajaran tarekat Syaattariyyah di Sumatra Barat, seperti tampak dalam naskah-naskahnya, secara umum masih melanjutkan apa yang sudah dirumuskan sebelumnya, baik oleh tokoh Syaattariyyah di Haramayn, yang dalam hal ini diwakili oleh al-Qusyasyi, maupun oleh ulama Syattariyyah di Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Abdurrauf al-Sinkili. Ajaran yang dimaksud terutama berkaitan dengan tatacara zikir, adab dan sopan santun zikir, serta formulasi zikir.

Akan tetapi, khusus menyangkut rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir tarekat Syattariyyah, kecenderungannya tampak berbeda. Dalam hal ini, rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat tersebut cenderung lebih lunak dibanding ajaran al-Qusyasyi maupun al-Sinkili sebelumnya. Jika naskah-naskah Syattariyyah karangan al-Qusyasyi dan al-Sinkili masih mewacanakan konsep fana, yakni peniadaan diri, atau hilangnya batas-batas individual seseorang, dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana ‘an al-fana atau fana ‘an fanaih, yakni fana dari fana itu sendiri, sebagai hakikat dan tujuan akhir zikir, maka naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat menegaskan bahwa hakikat dan tujuan zikir adalah “sekedar” untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan Wujud-Nya.

Kecenderungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya, al-K´rani dan juga al-Sinkili misalnya, masih mengajarkan doktrin waúdat al-wuj´d, kendati rumusannya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil ortodoksi Islam, sehingga doktrin wahdat al-wujud —yang sempat mendapat penentangan keras dari para ulama ortodoks— ini, lebih dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat, ajaran wahdat al-wujud tersebut ternyata bukan saja diperlunak, lebih dari itu bahkan dilucuti dari keseluruhan ajaran tarekat Syattariyyah, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jami‘ah, dan menyimpang dari praktek syariat. Pada gilirannya, sepanjang menyangkut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, dan berdasarkan pada naskah-naskahnya yang dijumpai, ajaran tarekat Syattariyyah tanpa doktrin wahdat al-wujud ini menjadi salah satu sifat dan kecenderungannya yang khas. Hal ini relatif berbeda dengan kesimpulan sejumlah sarjana sebelumnya, seperti B. J. O. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, dan beberapa sarjana lainnya, bahwa tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat merupakan kelompok tarekat yang paling giat mengembangkan ajaran wahdat al-wujud, dan berhadap-hadapan dengan tarekat Naqsybandiyyah yang disebut sebagai pengembang doktrin wahdat al-syuhud (kesatuan kesaksian).

Kemudian, sejak mulai berkembangnya pada abad ke-17, hingga kini, tarekat Syattariyyah telah tersebar ke berbagai pelosok di Sumatra Barat, mulai dari daerah Padang Pariaman dan Tanah Datar, menyusul kemudian daerah Agam, Solok, Sawah Lunto Sijunjung, Pasaman, dan Pesisir Selatan. Dengan demikian, tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat telah melalui jalur persebarannya mulai dari daerah pantai pesisir sampai ke darek atau luhak nan tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Perkembangan jalur penyebaran tarekat Syattariyyah ini umumnya diikuti pula oleh persebaran naskah-naskah yang selalu menjadi pegangan para anggotanya, sehingga naskah-naskah Syattariyyah semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu.

Selain itu, kesimpulan lain yang dapat dikemukakan dalam kajian atas naskah-naskah Syaattariyyah di Sumatra Barat ini adalah bahwa setelah bersentuhan dengan berbagai tradisi dan budaya lokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah menjadi sarat pula dengan nuansa lokal. Ajaran tentang hubungan antara tubuh lahir dengan tubuh batin misalnya, dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai “pengajian tubuh”; demikian halnya dengan teknik penyampaian ajaran-ajaran tarekat Syattariyyah; selain melalui bentuk-bentuk yang konvensional seperti pengajian, ajaran-ajaran tersebut juga disampaikan dalam bentuk-bentuknya yang khas dan bersifat lokal, seperti kesenian salawat dulang misalnya. Masih yang bersifat lokal, di kalangan penganut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat ini juga berkembang apa yang disebut sebagai “Basapa”, yakni ritual tarekat Syattariyyah setiap bulan Safar di Tanjung Medan Ulakan, yang banyak dipengaruhi budaya lokal.

Dalam konteks yang lebih besar, berbagai bentuk ekspresi ritual yang bersifat lokal tersebut, pada gilirannya memperlihatkan suatu fenomena Islam lokal yang sangat dinamis dan memperkaya mozaik Islam itu sendiri. Dalam hal ini, gambaran yang sama niscaya dapat dijumpai dalam naskah-naskah Syattariyyah lokal di daerah lain, seperti dalam naskah-naskah Jawa misalnya. Unsur lokal dalam naskah-naskah keagamaan seperti naskah Syattariyyah ini sudah selayaknya mendapat perhatian untuk dijadikan sebagai sumber primer dalam upaya merekonstruksi dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyyah di dunia Melayu-Indonesia.

Lebih dari itu, karena tarekat Syattariyyah merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam Indonesia itu sendiri, maka upaya untuk mengkaji sejarah, dinamika, dan perkembangan tarekat ini melalui naskah-naskahnya akan memberikan sumbangsih berharga bagi upaya rekonstruksi sejarah Islam Indonesia khususnya, dan sejarah kebudayaan Indonesia secara lebih menyeluruh, pada umumnya.

Akhirnya, dalam konteks dunia keilmuan, penulis ingin menegaskan bahwa disertasi ini sesungguhnya dimaksudkan sebagai gambaran dari gabungan dua tradisi penelitian: tradisi penelitian keagamaan dan tradisi penelitian ilmu-ilmu budaya (humaniora), khususnya yang memanfaatkan naskah (manuscripts) sebagai sumber utama kajiannya.

Di satu sisi, tradisi penelitian keagamaan (baca: Islam), telah banyak dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi agama, seperti Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Negeri (STAIN), dan beberapa perguruan tinggi agama lainnya. Akan tetapi, sejauh ini, tradisi penelitian keagamaan tersebut seringkali tidak membumi, karena hanya berkutat pada teks-teks agama yang bersifat universal saja, dan belum memaksimalkan teks-teks yang bersifat partikular yang seringkali sarat dengan nilai dan budaya lokal, seperti naskah misalnya.

Di sisi lain, tradisi penelitian yang memberikan perhatian besar terhadap khazanah budaya semisal naskah ini, telah berkembang sedemikian rupa di sejumlah perguruan tinggi umum seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Andalas (Unand), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan beberapa universitas umum lainnya. Hanya saja, sejauh ini, tradisi penelitian naskah tersebut belum memaksimalkan keberadaan naskah-naskah keagamaan, khususnya yang ditulis dalam bahasa Arab, yang jumlahnya relatif banyak tersebut.

Dalam kerangka untuk menggabungkan dua tradisi penelitian di atas itulah, disertasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pentingnya. Wa Alâahu a‘lam bi al-Sawâb.

_________________

Oman Fathurahman, M.Hum., adalah peneliti naskah-naskah kuno, dan ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara, serta menjadi Research Fellow dari The Alexander von Humboldt-Stiftung Jerman di Universitat zu Kohln.