Melayu Sumatera selatan


Sejarah melayu Sumatra selatan

Sejarah Sumatera Selatan memiliki keterkaitan dengan sejarah Riau dan sejarah kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu. Hal ini sangat logis bila dihubungkan dengan bangsa Deutro – Melayu di daerah ini. Keturunan Deutro – Melayu ini telah menghuni kawasan tersebut sejak tahun 300 SM. Mereka menggeser kedudukan bangsa Proto – Melayu yang datang sekitar 2.000 tahun sebelumnya. Karena letaknya yang strategis bagi dunia pelayaran, ditambah dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, Sumatera Selatan banyak dikunjungi pedagang-pedagang asing, terutama dari Arab, India, dan China, sejak awal tarikh Masehi. Maka tidak mengherankan jika masyarakat Sumsel cepat berkembang dan kemudian melahirkan sebuah kerajaan besar bernama Sriwijaya.

Para ahli sejarah sependapat bahwa kerajaan Sriwijaya tumbuh, berkembang dan mengalami masa kejayaan selama berabad-abad antara abad ke-7 sampai abad ke-12. Sriwijaya menghasilkan sendiri komoditi penting pada masa itu, seperti lada dan timah. Daerah yang banyak menghasilkan lada adalah daerah sepanjang Sungai Kampar, Kuantan, Singingi (Riau) dan Batanghari (Jambi). Timah didatangkan dari daerah Kedah (Malaysia) dan Tapung Petapahan dihulu Sungai Siak (Riau). Selain itu Sriwijaya juga menjual emas yang berasal dari Sungai Kuantan dan Singingi.

Barang-barang ini menarik para pedagang dari Barat dan Timur untuk berlomba-lomba berdagang dengan Sriwijaya. Bahwa kebesaran Sriwijaya tidak disangsikan lagi, hal ini logis karena cukup banyak fakta sejarah yang mendukungnya. Tetapi tidak demikian dengan persoalan lokasi pusat kerajaan tersebut. Para ahli sejarah masih terus memperdebatkan masalah ini. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa pusat kerajaan tersebut adalah Palembang. Yang lain meletakkannya di Teluk Bandon (sekarang wilayah Muang-thai), di Jawa, di Perak, di Jambi, dan di Muara Takus (Riau). Hal ini berdasarkan peta-peta yang menunjukkan nama-nama tempat yang disebut dalam berbagai sumber asing dan catatan perjalanan para pedagang raja zaman itu, disamping aneka cerita rakyat tentang Raja Sriwijaya.

Walaupun begitu, mungkin saja setiap versi masing-masing memiliki kebenaran, sebab sebagai negara maritim yang kaya dan dinamis seperti Sriwijaya, berpindah-pindah ibukota dalam rentang waktu lebih dari lima abad bukanlah suatu hal yang mustahil. Perkembangan yang dialami Sriwijaya diperkirakan terjadi antara abad ke-11 sampai abad ke-12. Ketika itu Sriwijaya yang memiliki 13 negara jajahan, meliputi semua wilayah Indonesia bagian Barat dan seluruh Semenanjung Melayu sampai kesebelah selatan Teluk Bandon.

Tulisan-tulisan yang berisi ajaran Buddha yang ditemukan di Pasir Panjang, ujung utara Pulau Karimun (kepulauan Riau), memberikan petunjuk bahwa daerah tersebut merupakan pos terdepan Sriwijaya untuk mengawasi jalur pelayaran dimulut Selat Malaka. Dalam prasasti itu ditemukan tiga telapak kaki kiri berukuran raksasa. Telapak kanannya dalam ukuran yang sama ditemukan disuatu tempat di Singapura. Telapak kaki tersebut melukiskan Sang Buddha yang mengawasi dunia sedang berdiri menghadap ke utara, dengan kaki kiri berpijak di Pasir Panjang dan kaki kanan di Pulau Singapura. Maka kapal-kapal yang melalui Selat Malaka akan berada dibawah kangkangannya. Hal ini merupakan gimbal besarnya kekuasaan Sriwijaya yang pada waktu itu berpusat di Muara Takus.

Dalam puncak kejayaan Sriwijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat pengajaran agama Buddha di Asia Tenggara. Keadaan seperti itu berlangsung sampai datang serangan dari Kerajaan Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu Jambi yang telah dikuasai Singosari sejak tahun 1275. Sejak itu masa kejayaan Sriwijaya mulai pudar.

Setelah Sriwijaya runtuh akibat serangkaian invasi tersebut, para anggota keturunan Dinasti Sailendra berusaha untuk menghidupkan kembali kebesaran tahta leluhur mereka dengan mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Salah seorang diantaranya adalah Sang Sapurba, yang meninggalkan Palembang untuk mencari bantuan dari beberapa kerajaan kecil bekas Mandala Sriwijaya. Menurut sejarah Melayu, rombongan Sang Sapurba berangkat dari Palembang sekitar akhir abad ke-13 menghilir Sungai Musi. Disana salah seorang putranya dikawinkan dengan putri penguasa setempat dan kemudian dinobatkan sebagai raja. Setelah itu Sang Sapurba pergi ke Bintan, dan disana ia juga mengawinkan lagi seorang putranya dengan putri Raja Bintan. Tujuannya mengawinkan dengan putri raja-raja setempat adalah untuk menghidupkan kembali inperium leluhurnya.